Sabtu, 22 September 2012

malaikat tak bersayap.




Bolehkah saya masuk?”, seorang anak laki-laki bertanya dengan suara gemetar dan gugup.
Jika kita pernah di panggil ke kantor kepala sekolah karena memukul teman sekelas sampai hidungnya berdarah, akibat teman kita mengolok-olok sepatu kita yang bolong bagian depannya. Membayangkan tentang hukuman yang mungkin kita dapatkan, kita ragu-ragu untuk masuk ke ruang kepala sekolah. Ya, mungkin seperti itu perasaan anak laki-laki yang gugup tersebut.

“Oh, kamu gak perlu minta izin untuk masuk, aku hanya akan memberitahu kapan kamu harus keluar dari ruanganku”, jawaban instan dari pria yang duduk di kursi kayu, memakai kacamata tebal bentuk persegi panjang dengan frame warna hitam.
Anak itu bingung dengan jawaban yang ia terima, tetapi ia tetap masuk ke dalam ruangan, pelan menutup pintu dan berjalan menuju pria itu dengan berusaha meminimalkan suara tumit sepatunya yang memukul lantai marmer setiap kali kakinya melangkah.
“Bolehkah saya duduk?”, Si anak bertanya lagi dengan suara yang sama.
“Aku rasa kamu bukan patung atau pengawal presiden, jadi kamu bisa duduk sendiri”, jawaban aneh dari pria itu lagi.
Jawaban ini membuat si anak laki-laki itu gelisah, dia berpikir apa yang salah? pria botak ini, dia seperti orang bodoh yang tak tau sopan santun atau hanya mencoba untuk menunjukkan kecerdasannya dengan cara aneh?. Pokoknya, ia memutuskan untuk tetap tenang karena ia membutuhkan pria ini, jadi perlakuan kecil ini gak boleh membuatnya berkata kasar.
Setelah 10 detik anak itu berdehem dan berkata “Bulan lalu, saya merasakan nyeri mendadak pada kedua sisi perut bagian bawah, dan ada darah dalam urin saya, Anda tahu, Pak, aku takut dan … ‘
Pria itu tiba-tiba menyela tanpa menunggu dia untuk menyelesaikan perkataannya,”aku bukan bapakmu, jadi jangan panggil Pak lagi, aku memiliki ijazah kedokteran dari universitas dan namaku Agung, Jadi panggil aku Dokter Agung, tetapi kamu jauh lebih muda dariku jadi jangan panggil aku Dokter Agung, cukup panggil aku Dokter, dan sekarang lanjutkan perkataanmu”.
Anak itu berbicara lagi, ‘baik, Dokter. Aku takut dan kemudian mengunjungi Dokter dekat rumah, dia memeriksa dan menyuruh saya mengunjungi Anda dengan hasil tes medis ini. “
“Ini hasil medis saya”, anak laki-laki itu menyerahkan kertas laporan hasil tes medisnya. Dan sekarang gelombang ketakutan datang lagi, entah apa hasil dari tes medisnya dalam kertas itu..
Dokter itu mengambil kertas hasil tes medis itu, ia tampak serius.
Keadaan menjadi hening, perasaan anak itu tak tenang. Mirip perasaan orang yang berada dalam ruang ujian dan siap-siap menerima kertas yang berisi pertanyaan dari guru.
Anak itu melihat jam dinding, tapi dia benar-benar tidak tau sudah berapa kali jarum jam berputar sejak dia berada di ruangan itu. Pikirannya penuh dengan tanda tanya dan kegelisahan.
“Aziz, umurmu 19.” Ucapan dokter memecah kesunyian. Dokter itu pasti telah melihat nama dan usianya di kertas tes medis itu.
Dokter itu berkata lagi”, Dari data hasil tes medis, darah kamu berjenis O dan ginjal kamu tidak bekerja dengan baik, jadi harus ada jalan agar ginjal kamu bekerja dengan benar. ‘
Aziz diam dengan raut muka penuh kecemasan dan ketegangan, layaknya terdakwa di dalam ruang sidang yang menunggu keputusan hukuman dari hakim atas pelanggaran hukum yang dia lakukan.
“Ginjal kirimu tidak berfungsi lagi, sudah rusak. “, kata dokter.
Aziz merasa ada yang memukul kepalanya dengan keras. Dia memang selalu merasa ada hal yang aneh pada tubuhnya, tapi tak pernah terpikir hal berbahaya ini menimpanya, seperti mimpi buruk.
Seperti tak punya punya perasaan, dokter itu melanjutkan,” Kalau tidak segera ada transplantasi, maka umurmu hanya tinggal beberapa bulan saja”.
Aziz tidak bisa bereaksi, pukulan keras meremukan sendi-sendinya.Dia tak bisa berteriak, tak bisa menjerit, tidak bisa menangis, hanya menatap obyek yang merupakan sumber rasa sakit.
Hatinya berdetak sangat cepat, seolah-olah antara dua ketukan interval hatinya lebih cepat daripada interval antara dua ketikan pada mesin ketik oleh pengetik tercepat di dunia. Seperti badai melilit pohon yang tidak bersalah, melawan keinginannya, melebihi kekuatan pertahanan terhadap badai itu.
Aziz mengambil napas dalam-dalam dan mencoba untuk menyembunyikan gejolak batinnya. Tapi, oh tidak! Terlihat lemah kekuatannya, telah berusaha semaksimalnya, tapi nada suaranya tak dapat bohong. Dengan lemah ia bertanya “Apa yang harus saya lakukan sekarang?”.
Dokter menjawab dengan suara yang berat, “kamu harus menemukan orang yang mau mendonorkan ginjalnya. Kamu beruntung bergolongan darah O. Kamu dapat mendonor untuk setiap golongan darah, tetapi sayangnya kamu hanya dapat menerima ginjal dari golongan darah O saja. Karena dengan yang selain golongan darah O, mungkin bisa, tapi mempunyai resiko tinggi dan juga di sini tenaga medis serta alat-alatnya sangat terbatas. Jadi, lebih baik kamu mencari pendonor golongan darah O kalau tak mau mati”.
Selain karena penyakit yang di deritanya, satu hal lagi yang seperti menjadi pukulan keras untuk Aziz, yaitu sikap acuh tak acuh dari dokter.
Entah dia jenis manusia apa. Bahkan tak bisa berbicara dengan lembut pada orang yang bisa mati dalam beberapa bulan saja. “Hanya karena dia adalah seorang dokter, hanya karena dia sering melihat manusia mati. Dia diperlakukan seperti dewa, sepertinya dia lah yang menyelamatkan hidup manusia, tetapi tidak untukku, rasa hormatpun tak ada untuknya”,batin si Aziz.
“Orang tuamu bisa membantu. Ini sangat mungkin, biasanya salah satu dari mereka memiliki golongan darah yang sama”, kata dokter dengan tetap dengan sikap acuhnya.
“Ayah saya meninggal ketika saya berumur 5 tahun dan golongan darah ibu saya adalah B. Ibu tak bisa membantu dalam hal ini, meskipun ibu saya selalu ingin mengorbankan apapun untuk saya. “, kata Aziz dengan suara serak.
‘Oh. Aku tau”,adalah satu-satunya jawaban dari dokter.
“Tidak, anda tidak tau, Anda bodoh.” Aziz menggumam dalam hati.
‘Aziz, karena aku harus merawat pasien berikutnya ,aku harus meninggalkanmu sekarang. Untuk obat, aku akan menyuruh Andri. Dia dokter junior di sini yang membantuku”, kata dokter.
Lalu dokter itu memanggil”Andri”, dan seorang pria sekitar berumur tiga puluhan datang dari ruang sebelah.
“Kamu tunggu di luar, Andri akan memanggilmu nanti”, kata dokter.
Aziz meninggalkan ruangan dan duduk di bangku. Di luar banyak orang yang sedang menunggu giliran untuk masuk ke dalam. Mereka semua memiliki wajah cemas yang nampak di mata mereka.
“Aziz, masuk ‘, Andri datang dan berkata, membuyarkan lamunan Aziz.
Aziz berdiri dan mengikuti dokter Andri. Kali ini Andri membawanya ke ruangan lain dan menyuruhnya duduk.
“Nah, keadaanmu sangat kritis. Kamu memerlukan transplantasi awal. Kamu membutuhkan donor ginjal dan juga uang sebesar 5 juta sebagai biaya transplantasi”, kata Andri.
 
“Tapi, darimana saya mendapatkan uang sebanyak itu sekarang? Jumlah yang terlalu besar untuk saya. Ibu saya tidak dapat mengumpulkan uang sebanyak itu. Kami bukan orang kaya, dok’, kata Aziz dengan suara parau.
Andri tampak iba, ia seperti orang yang baik dan berusaha untuk menyampaikan bahwa dia benar-benar mengerti.
“Ini tidak adil, tidak adil untuk ibu saya! Dia sudah kehilangan ayah, sekarang saya juga akan mati. ? Apa salah ibu saya? Sampai ia mendapat kehidupan seperti ini?” Aziz mengucapkan kata-kata dengan suara pecah, mungkin akan lebih lega jika dia bisa berteriak keras dan menangis, tapi tetes air mata itu tidak datang dari mata.
“Kamu, masih sekolah kan? Di mana ? Apa cita-citamu? ‘, Andri bertanya dengan suara sangat lembut, mungkin ia ingin mengalihkan topik. Dia meletakkan tangannya di bahu Aziz itu, menepuknya dengan pelan.
“Saya belajar geografi. Padahal saya tidak suka geografi. Saya ingin menjadi pelukis. Saya ingin melihat dunia ini dengan warna yang berbeda. Selalu ada sesuatu yang tersembunyi bahkan dalam hal yang paling penting, hal yang paling diabaikan di dunia. Saya hanya ingin menemukan orang-orang dan memberi mereka beberapa warna, beberapa makna. “, Kata Aziz tanpa henti, suaranya renyah, matanya bersinar seperti anak yang baru saja mendapat mainan baru. Andri tidak yakin apakah dia mengerti yang di katakan oleh Aziz, tapi dia tersenyum.
“Ok.. dengar baik-baik ya, kadang kita mendapat orang-orang yang ingin menyumbangkan salah satu ginjal mereka tapi tentu saja kamu harus membelinya dengan uang. Kamu harus mencoba untuk mendapat biaya itu juga. Aku akan menghubungimu. Dalam kasus ini, kalau nanti sudah menemukan seseorang itu, aku akan segera memberitahumu. Tapi, kamu harus menyiapkan uangnya. Dan kamu boleh pulang sekarang. “, Kata Andri tersenyum.
Kenyataan yang harus menyeret Aziz. Tapi dia berdiri, memberikan senyuman kembali pada dokter Andri dan berbalik untuk keluar.
Dia pergi dari ruangan dokter itu. Dia keluar dan melihat dokter Agung, dokter yang acuh. Dia berusaha untuk menghindarinya.
“Hei, kamu, apa yang kamu rasakan sekarang? ‘,’ Tanya dokter itu.
Aziz sudah tersiksa dan tertekan tak terkira, tapi pertanyaan bodoh dari dokter itu, yang seolah-olah tidak bersalah, membakar kemarahannya. Ia berbalik menghadap dokter dan berkata,”Anda tahu, Pak? saya tahu bahwa Anda tidak menerima panggilan ini dari orang seperti saya. Dan untuk menjawab pertanyaan Anda, saya katakan bahwa saya merasa seperti berada di puncak dunia dengan beberapa bidadari dan mainan simfoni dan saya cukup gembira”. Aziz meninggalkan dokter itu dengan cepat tanpa menunggu jawaban.
***
Aziz berjalan menyusuri jalan. Dunia menandakan telah sore. Sinar matahari tumbuh hampir sehari penuh dan akan segera bersembunyi untuk menyambut malam. Ranting pohon tampak seperti emas. Burung-burung sudah lelah terbang sepanjang hari dan akan kembali ke sarang mereka. Tapi, selalu ada beberapa burung yang kehilangan jalur jalan mereka kembali ke sarang dan terbang tanpa arah dalam pencarian itu. Aziz seperti salah satu dari mereka.
Semua bis warna merah penuh dengan orang, sebagian besar adalah orang kantor yang pulang dengan mata lelah dan kemeja berkeringat. Aziz berpikir betapa menyedihkan, mereka semua akan hidup tapi dia akan mati. Aziz melihat orang tua membeli sebuah tas cantik untuk seorang gadis kecil. Sepasang kekasih sedang berjalan menyusuri jalan sambil saling berpegangan tangan, mereka akan menikah suatu hari nanti, tapi ia sendiri akan mati. Penjual buah akan hidup, pengemudi mobil, yang telah melanggar lalu lintas juga akan hidup.
Aziz naik sebuah bis yang berada di rute yang salah, memang tidak penuh, tidak semua kursi terisi. Dia duduk di dekat jendela agar udara dapat menyapu wajahnya menyelamatkan dari pikiran yang mencekiknya.
Dia teringat hari ketika ayahnya meninggal. Dia masih kecil. Ayahnya sedang berbaring di tempat tidur dan dia pikir ayahnya sedang tidur. Tapi, ibunya menangis histeris. Ia bertanya dalam hati mengapa ibu menangis, kenapa dia tidak membangunkannya saja. Dia mendekati ibunya dan ibunya memeluk di dadanya, dia mulai menangis keras dan kemudian pingsan.
Beberapa orang datang dan membawa ayahnya, memasukan ke dalam tempat yang di sebut keranda. Dia masih tidur. Aziz berlari dan menyentuh dahi ayahnya dengan lembut, dingin kulit ayahnya .Matanya mulai merah, ia terisak dan bibirnya gemetar, ia mendorong ayahnya dengan lembut dan berkata,” Ayah, saya ada PR perkalian yang sangat susah , bangun ayah, pak guru akan memarahi saya di sekolah besok, yah. Ayah bangun”.
Lalu seseorang datang dan menarik dia dari ayahnya. Mereka membawa ayahnya ke pemakaman dan mengajak Aziz ikut dengan mereka juga. Mereka membaringkan ayahnya di dalam lubang galian tanah. Aziz mengerti ayahnya tidak akan bangun, tidak hari ini, tidak juga besok, dan selamanya. Dia menangis tertahan dalam diam.
Aziz merasakan setetes air mata bergulir di pipi kirinya, dia langsung menyekanya. Dia tidak ingin membuat heran orang yang duduk di sampingnya di dalam bis.
Ada yang mengatakan sebelumnya bahwa lelaki menangis itu tidak normal. Aziz juga pernah mengatakan hal yang sama. Tapi, ketika mengalami, dapatkah mereka bayangkan sakitnya?.
Dan kemudian perjuangan demi perjuangan dimulai. Ibunya mendapat pekerjaan sebagai tukang sapu di bekas tempat kerja ayahnya. Dia selalu mengerti kondisi ekonomi ibunya. Hari raya, dia tidak pernah meminta ibunya untuk membelikan baju baru. Dia melihat air mata ibunya karena ketidakmampuannya untuk membelikan baju baru. Ia menyukai mobil-mobilan dan melihat mainan di toko-toko ketika teman-temannya membeli. Tapi, dia tidak meminta ibunya untuk membelikannya.
Ia membawa mainan rusak dan yang sudah tak terpakai yang di beri oleh teman-temannya. Dia melihat ibunya mengenakan baju kebaya yang sama selama bertahun-tahun. Warnanya pudar, ibunya tidak mau membeli yang baru. Tapi, dia selalu membelikannya buku baru untuk sekolah. Dan, dia selalu berkata, “Ibu tidak mengharapkanmu untuk menjadi seorang perwira, hanya ingin kamu menjadi manusia yang baik seperti ayahmu”.
Dan Aziz selalu berusaha untuk menjadi apa yang ibunya inginkan. Dia tidak pernah melakukan hal yang tak baik yang akan membuat nya malu untuk menghadapi cermin. Dia tidak mencontek dalam ujian. Dia berusaha untuk tidak menyakiti orang. Dia berusaha tidak mengecewakan orang. Dia tidak pernah mengkhianati kepercayaan orang pada dirinya.
Tapi sekarang apa!? Dia adalah orang yang sedang sekarat. Dia tidak tahu apakah ada Tuhan atau tidak. Jika Dia ada, mengapa keputusan-Nya begitu tidak adil untuknya?.
Sekarang, hal yang paling sulit baginya adalah untuk menjelaskan hal yang dapat menghibur ibunya. Dia harus mengatakan pada ibunya bahwa masih ada harapan.
***
Sebulan berlalu. Rasanya seperti bertahun-tahun. Aziz belum bisa menemukan pendonor. Keadaannya memburuk. Ibunya tidak menangis di depannya, tetapi setiap kali ia menatapnya, ia melihat mata merah dan lingkaran hitam di bawah mata ibunya. Ia tampak lemah, berat badannya turun drastis, hampir tiada daging yang menempel di tulangnya. Kakinya bengkak dan tampak seperti pohon pisang. Dia sakit kepala, mual dan dia tidak bisa makan makanan padat. Ada rasa sakit yang teramat pada fisik dan mental.
Dia ingin hidup. Dia ingin hidup untuk dirinya dan untuk ibunya. Tadi malam ia bermimpi memiliki sebuah tempat pameran lukisan. Banyak orang datang dan melihat lukisan-lukisannya. Mereka tampak senang dengan apresiasi di mata mereka. Dan, hadiah yang paling berharga bagi seorang seniman adalah yang terlihat di wajah mereka. Tak ternilai! Tidak ada yang dapat memberikan dan tidak ada yang bisa mengambilnya.
Dan, dia terbangun. Subuh rupanya. Orang mengatakan mimpi pada waktu subuh biasanya menjadi nyata, oh, betapa menyedihkan!
Dia berpikir tentang kekasihnya. Dia tidak pernah bisa mengatakan padanya betapa ia mencintainya. Dia menjadi bagian dari pikirannya. Kedua alam pikirannya, sadar dan bawah sadar diisi oleh dia.
Tapi satu hari ia tau bahwa kekasihnya sudah berselingkuh dengan seorang pria. Hatinya hancur berkeping-keping. Dia tidak bisa tidur malam harinya. Dia berusaha untuk tidak memikirkannya tapi tidak bisa. Ada beberapa hal yang manusia harus hadapi dalam hidupnya, dan cinta adalah salah satunya.
Kemudian ia berpikir bahwa semua rasa sakit dan kesedihan akan pergi dengan kematiannya. Tidak akan ada lagi sakit.
“Tapi, oh tidak, aku ingin hidup tenang. Aku ingin hidup” ,Aziz berpikir dengan pikiran yang galau.
Dan aneh, entah bagaimana ibunya mampu mengumpulkan sejumlah uang sebesar 2 juta. Tapi, uang tersebut tak ada gunanya tanpa ada donor ginjal.
 
Dan hari berikutnya Aziz menerima telepon dari Andri, ‘Halo, Ziz. Dengar baik-baik, aku tau keadaanmu bertambah tak baiki, tapi ada sesuatu yang baik untukmu. Kami sudah mendapat pendonor. Apakah kamu sudah mempunyai uang? “
“Tapi tidak ada 5 juta.” Jawab Aziz
‘Ok’, Andri tampak ragu-ragu.
“Pokoknya, datang besok ke rumah sakit, kami akan mencocokan ginjal kamu dan semoga semuanya berjalan baik-baik saja, tidak ada yang bisa menghentikan kamu menjadi seorang pelukis “, jawab Andri tersenyum.
‘Ok, Sampai jumpa besok. “, Aziz menutup telepon.
Aziz merasa gembira. Dia merasa seperti tidak ada rasa sakit lagi di tubuhnya. Dia memanggil ibunya dan mengatakan segalanya. Dan hal pertama yang ibunya lakukan adalah menutup matanya, menengadahkan tangan dan menggumamkan sesuatu, mungkin dia berterima kasih kepada Allah dan air mata meluruh menetes dari kedua matanya.
Hari berikutnya, di rumah sakit, tes dilakukan. Hasilnya menunjukkan ginjal donor cocok untuk Aziz.
“Berapa aku harus membayar sang pendonor? ‘,Aziz bertanya pada Andri setelah mereka bertemu.
“Kamu tidak perlu membayar. Karena kamu hanya memiliki 2 juta.
Dan satu hal lagi, untuk beberapa alasan, sang pendonor tidak bersedia untuk memberitahu identitas dirinya. Jadi, kamu tak boleh tau siapa dia. “
Aziz tampak bingung dan merasa kagum dengan kebaikan orang itu. Membuatnya berpikir bahwa dunia ini masih memiliki orang yang mulia.
“Dan siapa yang akan memimpin operasi ini? Apakah orang itu, Dokter Agung? ‘, Aziz penasaran.
“Ha ha ha, kamu benar-benar tidak suka orang itu, ya kan? Tidak, ia sedang cuti. Dokter lain yang akan memimpin operasi ini. Dan dia adalah salah satu dokter yang hebat. “, Andri menjawab tersenyum.
Dan, ini membuat Aziz lega, bukan lelaki yang ia benci yang akan mengoperasinya.
Ibunya mulai berdoa untuk anaknya. Aziz mulai berpikir tentang kehidupan barunya sampai dokter-dokter memberinya beberapa dosis obat bius.
***

Tiga bulan berlalu. Operasi berhasil. Aziz mulai pulih.
Dia bisa berjalan, ia bisa makan dan fungsi ginjal nya benar-benar normal. Walau ia masih harus melakukan pengobatan pasca operasi untuk beberapa hari.
Dia mulai melukis, tentang keindahan. Hidupnya telah kembali.
Tapi, ada hal yang membuatnya tak henti berfikir. Siapakah yang telah mendonorkan ginjal untuknya??.
Kenapa harus menyembunyikan identitas diri? Apakah dia buronan polisi?.
Apakah dokter Agung? Tidak mungkin lelaki itu. Tapi mungkin dia tau siapa orangnya. Aziz pun berniat menemuinya, tapi tak ada yang mengangkat saat dia menelponnya.
Tak putus asa, Aziz menelpon Andri,
“Halo, apakah dokter Agung ada? Aku mau menemuinya”.
“Dia tidak ada. Kenapa kamu menanyakannya? Bukankah kamu membencinya?”,tanya Andri.
“Iya,benar. Tapi aku perlu menemuinya”, jawab Aziz.
Dengan nada lemah, Andri menjawab,” Temui aku besok di rumah sakit”.
“Ok, besok aku datang”, Aziz pun menutup telepon.
Besoknya, Aziz datang menemui Andri.
“Mana dokter Agung?Aku perlu menemuinya?”, tanyanya pada Andri.
“Dia tidak ada. Dia telah meninggal beberapa bulan yang lalu. Dan perlu kamu tau, dia yang mendonorkan ginjalnya untuk kamu”, jawab Andri dengan menahan sesak dadanya karena menahan tangis.
Aziz tertegun, tak percaya dengan yang ia dengar.
“Tapi, sebelum dia meninggal, dia menitipkan surat ini untuk kamu”, Kata Andri sambil menyerahkan sebuah amplop berwarna putih pada Aziz.
Dengan tangan gemetar, Aziz menerimanya, lalu membukanya, perlahan dia membaca surat itu,
untuk Aziz , anaku:
Nak, kalau kamu membaca surat ini berarti kamu sudah tahu yang sebenarnya. Meskipun aku berharap akan lebih baik jika surat ini tidak sampai ke tanganmu. Tapi, kamu cukup pintar untuk mendapatkannya. Sekarang, aku mau menjelaskan mengapa aku melakukannya. Bukan karena kamu tak layak memanggilku ” Pak”, tapi aku tidak ingin meninggalkan kesan baik hati padamu. Aku tidak ingin melihat seorang ibu kehilangan anaknya lagi.
Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan anak. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan istri.
Aku telah kehilangan istri ketika dia melahirkan anak kami. Anakku tidak pernah melihat ibunya. Aku adalah segalanya baginya. Dia adalah segalanya bagiku. Tapi, Tuhan berkata lain, ia mengambil anakku ketika ia berumur 7 tahun.
Dia menderita kangker dan aku tidak bisa menyelamatkannya. Kamu tahu bagaimana rasanya saat pulang kerja setiap hari, tapi tak menemukan dua orang yang paling aku cintai dalam hidup, mereka tidak bisa keluar dari bingkai fotonya, tergantung di dinding? Kamu tahu bagaimana rasanya saat melihat kertas buku anakku dan melihat tulisan tangannya, ejaan yang salah itu? Kamu tahu apa yang terjadi di dalam hatiku? ketika melihat pakaian seragam sekolah kecil itu, kaos kaki kecil dan botol air kecil? Kamu tahu betapa sulitnya itu, tidak dapat merasakan tangan lembut mereka di wajahku lagi? Aku berharap kamu tidak perlu merasakannya. Aku berharap tidak ada yang merasakannya.
Aku tidak memiliki kekuatan untuk menyelamatkan nyawa mereka.
Tapi, dalam penyakitmu, aku punya kesempatan untuk memberikan sesuatu yang bahkan ibumu tidak bisa memberikannya. Aku punya ginjal dengan golongan darah O.
Kamu tahu? bahkan sebelum kamu datang, aku tahu penyakitmu. Dokter yang menyuruhmu menemuiku adalah adik kelasku. Aku memutuskan untuk menyumbangkan ginjalku untukmu kalau kamu tidak dapat menemukan pendonor.
Tapi, aku tak ingin menyatakannya langsung, jadi aku bersikap begitu acuh. Aku tak ingin kamu berpikiran bahwa laki-laki jahat sepertiku akan mendonorkan ginjal untukmu.
Aku bisa saja bilang lebih awal, tapi aku hanya ingin menciptakan keraguan dalam pikiranmu tentangku sebagai pendonor.
Sama untuk hal uang, aku tidak butuh uangmu. Aku tahu betapa sulitnya ibumu untuk mendapatkannya. Jadi, aku mengembalikan uangnya, agar kamu dapat sekolah melukis.
Sebagai seorang dokter, aku tidak sembarangan, aku tau ada dokter di rumah sakit yang bisa menangani kasusmu bahkan lebih baik dariku. Dan lihat lah, operasi kamu berhasil dilakukan tanpa aku.
Keadaanku memburuk, aku kira hanya punya beberapa menit tersisa untukku hidup.
Anakku, aku terlalu lelah sekarang. Terlalu lama sejak terakhir kali aku melihat istri dan anakku. Aku harus melihat mereka lagi di dunia lain. Aku tidak tahu bagaimana mereka sekarang?
Apakah mereka akan mengenaliku?
Takdir tidak bisa menang setiap waktu.
Takdir telah memukulku dua kali. Mengambil istriku, dan mengambil anakku
Tapi, aku bahagia akan berkumpul dengan orang- orang yang aku cintai. Dan kamu juga bahagia dengan ibumu.
dari:
Dokter Agung
Aziz menatap surat itu tanpa ada yang dapat ia bayangkan. Matanya berubah menjadi lautan bening yang terus meluruh ke pipi. Laki-laki juga bisa menangis. Dokter yang ia benci adalah malaikat hidupnya, menyelamatkan nyawa melalui ginjal. “Dia malaikat tak bersayapku”, ucapnya lirih menahan sebak di dadanya.
~Tamat~
Terinspirasi dari seorang sahabat fb yang tak bosan menasihatiku bahwa hidup hanya sementara. Tak pernah ku temui manusia yang abadi di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar