Ketahuilah wahai kaum muslimin, memakai cadar bagi wanita muslimah,
mengangkat celana hingga tidak menutupi mata kaki dan membiarkan jenggot tumbuh
bagi seorang laki-laki muslim adalah bagian dari ajaran agama dan tidak ada
hubungannya sama sekali dengan terorisme, sebagaimana yang akan kami jelaskan
bukti-buktinya -insya Allah- dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta penjelasan para
ulama umat.
Benar bahwa sebagian teroris juga mengamalkan ajaran-ajaran agama ini,
namun apakah setiap yang mengamalkannya dituduh teroris? Kalau begitu,
bersiaplah menjadi bangsa yang teramat dangkal pemahamannya. Maka inilah
keterangan ringkas yang insya Allah dapat meluruskan kesalahpahaman.
Pertama: Dasar syari’at menggunakan cadar bagi wanita muslimah
Pertama: Dasar syari’at menggunakan cadar bagi wanita muslimah
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan
istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)
Perhatikanlah, ayat ini memerintahkan para wanita untuk menutup seluruh
tubuh mereka tanpa kecuali. Al-Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Ayat
hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil
kewajiban menutup kepala dan wajah bagi wanita.” (Lihat Hirasatul Fadhilah,
hlm. 51 karya Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid rahimahullah)
Juga firman Allah Ta’ala:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung (sampai) ke dadanya.” (An-Nur:
31)
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha berkata, “Semoga Allah Ta’ala
merahmati para wanita generasi awal kaum Anshar. Ketika Allah Ta’ala menurunkan
ayat, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung (sampai) ke dadanya.”
(An-Nur: 31), maka mereka langsung memotong-motong kain mereka dan berikhtimar
(menutup wajah) dengannya.” (HR. Al-Bukhari, no. 4480)
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan makna berikhtimar dalam hadits
di atas adalah, “Para wanita sahabat Anshar menutup wajah mereka.” (Fathul
Bari, 8/490)
Kedua: Dasar kewajiban mengangkat celana hingga tidak menutupi mata kaki bagi laki-laki muslim
Kedua: Dasar kewajiban mengangkat celana hingga tidak menutupi mata kaki bagi laki-laki muslim
Banyak sekali dalil yang melarang isbal (memanjangkan pakaian sampai
menutupi mata kaki bagi laki-laki). Diantaranya sabda Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu:
ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
“Bagian kain sarung yang terletak di bawah kedua mata kaki maka tempatnya
neraka.” (HR. Al-Bukhari, no. 5450)
Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits Abu Dzar
radhiyallahu’anhu:
ثلاثة ٌ لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذابٌ
أليم قال فقرأها رسول الله {صلى الله عليه وسلم} ثلاث مرار قال أبو ذر خابوا
وخسروا من هم يا رسول الله قال المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب
“Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala di hari kiamat. Tidak dilihat (dengan pandangan rahmat), tidak disucikan
dan akan mendapatkan azab yang pedih (dikatakan sebanyak tiga kali). Berkata
Abu Dzar, “Mereka telah celaka dan merugi, siapa mereka itu wahai Rasulullah?”
Beliau bersabda, “Mereka adalah seorang yang memanjangkan pakaiannya sampai
menutupi mata kaki, seorang pengungkit pemberian dan seorang yang menjual
barang dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim, no. 306)
Ketiga: Dasar kewajiban membiarkan jenggot tumbuh bagi laki-laki muslim
Ketiga: Dasar kewajiban membiarkan jenggot tumbuh bagi laki-laki muslim
Dalam hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam bersabda:
خالفوا المشركين وفروا اللحى وأحفوا الشوارب
“Berbedalah dengan orang-orang musyrik; biarkan jenggot tumbuh lebat dan
potonglah kumis.” (HR. Al-Bukhari, no. 5553)
Juga dalam hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
أحفوا الشوارب وأعفوا اللحى
“Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot.” (HR. Muslim, no. 623)
Dan masih banyak hadits lain yang menunjukkan perintah Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam untuk membiarkan jenggot tumbuh, sedangkan
“perintah” hukum asalnya adalah “wajib” sepanjang tidak ada dalil yang
“memalingkannya” dari hukum asal.
Demikianlah penjelasan ringkas dari kami, semoga setelah mengetahui ini
kaum muslimin lebih berhati-hati lagi dalam menyikapi orang-orang yang
mengamalkan sejumlah kewajiban di atas. Tentu sangat tidak bijaksana apabila
kita mengeneralisir setiap orang yang tampak kesungguhannya dalam menjalankan
agama sebagai teroris atau bagian dari jaringan teroris.
Peringatan: Ketahuilah wahai kaum muslimin, minimal ada dua resiko
berbahaya apabila seorang mencela dan membenci satu kewajiban agama atau
mencela dan membenci orang-orang yang mengamalkannya:
Pertama: Berbuat zalim kepada wali-wali Allah, sebab wali-wali Allah yang
hakiki adalah orang-orang yang senantiasa menjalankan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya, baik perintah itu wajib maupun sunnah.
Allah Ta’ala berfirman:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ
يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang
beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 62-63)
Jangan sampai kita berbuat dua kesalahan sekaligus; tidak mengamalkan
kewajiban dari Allah Ta’ala, masih ditambah lagi dengan perbuatan zalim kepada
orang-orang yang mengamalkan kewajiban tersebut.
Barangsiapa yang memusuhi wali Allah, dia akan mendapatkan kemurkaan Allah
‘Azza wa Jalla. Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah
shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:
إن الله قال من عادى لي ولياً فقد آذنته بالحرب وما تقرب إلى عبدي بشئ أحب إلى
مما افترضته عليه وما يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه فإذا أحببته كنت سمعه
الذي يسمع به وبصره الذي يبصر به ويده التي يبطش بها ورجله التي يمشي بها ولئن
سألني لأعطينه ولئن استعاذني لأعيذنه
“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku
maka Aku umumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri
kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada amal yang Aku wajibkan
kepadanya. Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal
sunnah sampai Aku mencintainya. Apabila Aku sudah mencintainya maka Akulah
pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah pandangannya yang dia
gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah
kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Kalau dia meminta kepada-Ku pasti
akan Aku beri. Dan kalau dia meminta perlindungan kepada-Ku pasti akan Aku
lindungi”.” (HR. Bukhari, no. 6137)
Faidah: Para ulama menjelaskan bahwa makna, “Akulah pendengarannya yang dia
gunakan untuk mendengar, Akulah pandangannya yang dia gunakan untuk melihat,
Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah kakinya yang dia
gunakan untuk melangkah” adalah hidayah dari Allah Ta’ala kepada wali-Nya
sehingga ia tidak mendengar kecuali yang diridhai Allah, tidak melihat kepada
apa yang diharamkan Allah, dan tidak menggunakan kaki dan tangannya kecuali
untuk melakukan kebaikan (lihat Syarhul Arba’in An-Nawawiyah, hadits ke-38 oleh
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah).
Kedua: Perbuatan tersebut bisa menyebabkan kekafiran, sebab mencela dan
mengolok-olok ajaran agama atau mengolok-olok orang-orang yang menjalankannya
(karena mereka mengamalkan ajaran agama) termasuk kekafiran kepada Allah Ta’ala.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang mengolok-olok satu bagian dari ajaran Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam, atau mengolok-olok pahalanya maupun siksanya maka dia telah kafir.”
(Nawaqidul Islam, ke-6)
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ
أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا
قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan
itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau
dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan
Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu
kafir sesudah beriman.” (At-Taubah: 65-66)
Demikian pula, membenci satu bagian dari syari’at Allah Jalla wa ‘Ala, baik
yang wajib maupun yang sunnah, atau membenci pelakunya (disebabkan karena
syari’at yang dia amalkan) merupakan kekafiran kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Barangsiapa
membenci suatu ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
walaupun dia mengamalkannya, maka dia telah kafir.” (Nawaqidul Islam, ke-5)
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Demikianlah (mereka kafir) karena mereka benci kepada apa yang diturunkan
Allah, lalu Allah menghapuskan amalan-amalan mereka.” (Muhammad: 9)
Maka berhati-hatilah wahai kaum Muslimin dari kemurkaan Allah ‘Azza wa
Jalla.
Kemudian kepada Ikhwan dan Akhwat yang telah diberikan hidayah oleh Allah
Ta’ala untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban di atas, hendaklah kalian
bersabar dan tetap tsabat (kokoh) di atas sunnah, karena memang demikianlah
konsekuensi keimanan, mesti ada ujian yang menyertainya.
Dan wajib bagi kalian untuk senantiasa menuntut ilmu agama dan menjelaskan
kepada umat dengan hikmah dan lemah lembut disertai hujjah (argumen) yang kuat
agar terbuka hati mereka -insya Allah- untuk menerima kebenaran berlandaskan
Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah, bukan pemahaman
teroris.
Wallahul Musta’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar